RSS

Resensi Novel Negeri 5 Menara

Sekitar awal Mei 2010, ada sesuatu hal yang membuat saya semakin betah tinggal di sini. Perpustakaan Umum Kota Cimahi, yang baru saya ketahui keberadaannya dari adik-adik Scout One (Pramuka SMP Negeri 1 Cimahi). Letaknya di kawasan Pemkot Cimahi. Koleksi bukunya tidak terlalu banyak untuk ukuran Perpustakaan Umum milik pemerintah, namun cukup membuat mata saya berbinar-binar ketika pertama kali melihat jajaran beratus-ratus buku di rak.

Segera saya bertanya kepada petugas tentang prosedur menjadi anggota perpustakaan. Dalam waktu empat hari, saya kembali lagi sambil membawa formulir, fotocopy identitas, dan dua lembar foto. Tidak sabar segera melahap isi buku-buku berkualitas secara gratis!

Tidak sengaja, saya menemukan sebuah novel berjudul “Negeri 5 Menara”, melihat cover-nya sekilas membuat saya tertarik. Terdapat tanda “National Best Seller”, komentar Andy F. Noya, host acara Kick Andy, dan ilustrasi yang cukup apik di bagian depan. Sampul belakang berisi sedikit sinopsis dan sepuluh komentar dari tokoh-tokoh terkenal tentang novel tersebut. Tanpa pikir panjang, saya pun meminjamnya.

Tokoh utama dalam novel tersebut bernama Alif, remaja yang baru lulus MTs Negeri di Kabupaten Agam, mempunyai cita-cita untuk masuk SMA favorit di Bukittinggi bersama Randai, teman karibnya. Namun apa daya, keinginannya tersebut tidak mendapat restu amak dan ayahnya. Mereka menginginkan Alif untuk melanjutkan pendidikan di sekolah agama, dengan harapan Alif dapat menjadi pemimpin umat yang besar. Pikiran Alif dan kedua orangtuanya berseberangan.

Sebuah surat dari paman Alif memberinya sebuah keberanian untuk mengambil keputusan, dia mau sekolah agama, namun tidak di Bukittinggi atau Padang, melainkan sebuah pondok di Jawa. Sebuah keputusan setengah hati, sebagai wujud pemberontakan.

Pondok Madani. Sebuah pondok pesantren modern yang terletak di pelosok Ponorogo Jawa Timur yang menjadi kawah candradimuka bagi ribuan muridnya. Disitulah lembar petualangan Alif dimulai. Alif menjadi salah satu dari 400 murid baru yang lolos seleksi untuk masuk Pondok Madani (PM).

Bersama Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Baso dari Gowa, Dulmajid dari Madura, dan puluhan murid lainnya, Alif menempati kamar berkapasitas 30 orang, di asrama Al-Barq. Bangun pagi jam 4.30, mengikuti aturan berpakaian sopan dan pada tempatnya, harus memakai papan nama kapan saja di mana saja, tidak dibenarkan memakai bahasa daerah dan bahasa Indonesia (untuk murid baru mendapat toleransi 4 bulan pertama), tiga kali seminggu mengikuti latihan pidato dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia (pengecualian), setiap kamis sore berlatih Pramuka, boleh tidur jam 9.30 malam, dan berbagai peraturan lain harus ditaati. Pelajaran dari pagi hingga sore hari, berbagai aktivitas pengembangan diri mulai olahraga, seni, jurnalistik, dan Pramuka, belajar malam, membuat jadwal keseharian mereka menjadi begitu padat.

Man jadda wajada, adalah pelajaran hari pertama di PM, sebuah kata mutiara sederhana tapi kuat, yang akan menjadi kompas kehidupan mereka kelak. Alif dan lima orang temannya menorehkan sejarah baru. Mereka berenam adalah anak baru yang pertama mendapat kehormatan menjadi pesakitan di mahkamah pusat, walaupun telah mendapat hukuman jewer berantai di tengah lapangan, gara-gara terlambat beberapa menit ke masjid. Hukumannya adalah menjadi jasus, mencari murid-murid pelanggar aturan dan mencatatnya serta melaporkannnya ke kantor keamanan pusat.

Keakraban mereka semakin erat, mereka memilih sebuah markas pribadi untuk berkumpul, bersantai menunggu maghrib, dan tempat mencari ketenangan. Lokasi yang terpilih yaitu dasar menara masjid. Sahibul Menara, menjadi nama julukan mereka berenam. Di situlah mereka memperdebatkan bentuk awan yang terlihat di langit.

Suasana dan lingkungan pondok dibuat sedemikian rupa, semua yang didengar, dan dilihat adalah bahasa Arab dan Inggris. Mulai pengumuman di masjid, berita radio yang selalu memutar BBC, VOA dan radio Timur Tengah. Dimana-mana para murid banyak yang membawa buku mufradhat untuk menghafalkan kosa kata, ketika sedan antri mandi, antri makan, berjalan, bahkan olahraga. Sehingga bukan sesuatu yang mustahil dalam waktu 4 bulan murid baru dapat berbicara bahasa Arab dan Inggris.
Di bawah menara mereka berdebat tentang bentuk awan di langit, Alif melihat awan menjelma menjadi benua yang didatangi Columbus 500 tahun silam, Amerika. Raja melihatnya sebagai benua Eropa. Atang dan Baso menafsirkannya menjadi kontinen Asia dan Timur Tengah. Sementara Said dan Dulmajid melihatnya sebagai peta Indonesia.

Dengan bimbingan dari almukarram Kiai Rais (pemimpin pondok), Ustad Salman (wali kelas), dan ustad-ustad lainnya, Alif dan teman-temannya menjalani kehidupan di PM dengan berbagai cerita.

Novel ini adalah novel pertama dari trilogi Negeri 5 Menara, mengingatkan saya dengan Tetralogi Laskar Pelangi yang sama-sama menceritakan sekumpulan anak muda yang menjalani masa-masa pencarian jati dirinya serta berani bermimpi tentang masa depan. Berbagai kisah melukiskan kehidupan pondok yang selama ini jarang diketahui oleh publik, apa saja hal yang mereka pelajari, kedisiplinan, tingkah laku murid, serta pola pendidikan pondok.

“Sebuah novel yang terinspirasi kisah nyata”, begitulah sebaris kalimat di sampul depan. Membuat saya berasumsi bahwa kurang lebih seperti itulah kehidupan yang dialami oleh murid-murid di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur (pengarangnya adalah alumni Pondok Modern Gontor). Memberi gambaran tentang kehidupan beberapa sahabat saya yang pernah tinggal di pondok.
Pertama, masa remaja salah satu rekan seperjuangan saya, teman sekelas dan penerima beasiswa PT Ultrajaya, Nicho Budayana Mustofa yang 6 tahun mondok di Purworeja Jawa Tengah. Selain itu teman SMP asal Surabaya, Ahmad Nashruddin yang jadi santri salah satu Pondok Pesantren di Singosari. Dan sahabat SMP saya yang saat ini menuntut ilmu di Pondok terkenal lain di Jawa Timur, Muhammad Hafy di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Sedikit bernostalgia, sekitar tahun 2001, saya berkesempatan mengikuti Jambore Cabang (pertemuan Pramuka tingkat Penggalang), disitulah saya mendengar nama Pondok Pesantren Gontor yang mampu mencetak anggota Pramuka yang berkualitas dan mampu menarik perhatian peserta lain ketika mereka mengikuti even-even kepramukaan baik tingkat daerah maupun nasional. Rupanya pola pendidikan dan kehidupan keseharian di pondok tersebut, serta penerapan Prinsip Dasar dan Metode Pendidikan Kepramukaan terintegrasi dengan baik. Sekali Pramuka, tetap Pramuka :)

Kepiawaian penulis yang berprofesi sebagai wartawan ini dalam meramu kata demi kata menjadi paragraf patut mendapatkan apresiasi. Buku yang sangat inspiratif, mengutip salah satu baris pada novel tersebut, “uthlubul ilma walau bisshin”, “tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina”… Kalau saya cukup di Tanah Sunda :). Menguatkan keyakinan dan niat kembali yang kadang naik turun, bahwa keberadaan saya di perantauan ini untuk menuntut ilmu, dan harus bersemangat, tidak hanya sekadar menjalani tapi juga memaknai (pinjam kalimatnya Kak Rahmat!).

Keputusan Alif yang awalnya adalah sebuah keputusan setengah hati sebagai wujud pemberontakan terhadap keinginan kedua orangtuanya, perlahan dengan usaha kerasa menjadi sebuah keyakinan bahwa betapa beruntungnya dia menempuh pendidikan di PM, bertemu dengan orang-orang yang ikhlas menjadi pengajar walau tanpa digaji, demi mendapat ridho Allah SWT. Hal tersebut sedikit menyentil hati saya, Mekatronik (jurusan saya) adalah satu-satunya pilihan untuk mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Dan takdir saya pun di sini, berhasil lolos dalam kompetisi ketat (seperti Alif dalam seleksi masuk PM). Namun lambat laun menjadi sebuah perjalanan hidup yang harus diterima dengan ikhlas hati, walaupun tidak mudah juga. Betapa beruntungnya mendapat kesempatan ini. Terpilih karena memilih (lagi, mengutip kalimat Kak Rahmat).

“uthlub ilma minal mahdi ila lahdi”, “tuntutlah ilmu dari buian sampai liang lahat”. Satu lagi petuah bijak yang ada dalam novel ini. Apapun kondisi kita, menuntut ilmu, belajar, dari apapun, dimanapun, kapanpun adalah suatu kebaikan.

Tokoh-tokoh yang berkomentar dalam buku ini adalah para tokoh terkenal antara lain BJ Habibie, Riri Riza, KH. Hasan A. Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor), Kak Seto (Ketua Komnas Perlindungan Anak), Ary Ginanjar (Pengarang ESQ), Erbe Sentanu (Pengarang Quantum Ikhlas), Helvy Tiana Rosa (Sastrawan), Gamawan Fauzi (Gubernur Sumatera Barat).

Penulis yang juga alumni HI Unpad, George Washington University, Royal Holloway, University of London akan meluncurkan buku kedua trilogi ini yang berjudul Ranah 3 Warna beberapa bulan mendatang. Sebagian royalti penjualan buku digunakan untuk mendirikan Komunitas Menara, organisasi sosial berbasis volunteerism yang menyediakan sekolah, perpustakaan, klinik dan dapur umum gratis untuk kalangan tidak mampu.

Simak wawancaranya dengan Andi F. Noya pada tayangan Kick Andy tanggal 14 Mei 2010 pukul 21.30 dan 16 Mei 2010 pukul 15.30 untuk mengetahui lebih jelas tentang Negeri 5 Menara dan penulisnya, A. Fuadi.

“man jadda wajada”, “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”


Syair pembuka Negeri 5 Menara, karangan Imam Syafi’i…

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.


-Marlitha Giofenni-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

diisi agar kita bisa lebih baik :)